Jaga Kelestarian Gambut, Pilih Tanaman Sesuai Karakteristik Lahan

Sabtu, 04 September 2021 | Kubu Raya

Sungai Raya - Kepala Seksi Perencanaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kubu Raya, Evy Sahman, mengatakan, secara lanskap, luas lahan gambut di Kubu Raya sekitar 523.174 hektare. Luasan ini mengambil porsi sekitar 60 persen dari wilayah administratif Kabupaten Kubu Raya.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui SK Nomor 130/2017 menetapkan fungsi ekosistem gambut menjadi dua, yaitu fungsi ekosistem gambut budidaya dan fungsi ekosistem lindung. Untuk fungsi ekosistem gambut budidaya seluas 356.836 hektare.

“Sekitar 56 persen lahan gambut berada di APL atau areal budidaya nonkehutanan. Kewenangan menetapkan peruntukannya lintas sektor. Artinya terdapat kewenangan pemda, BPN, pertanian, perkebunan dan lainnya. Di sisi lain, juga terdapat 22 persen lahan gambut yang berada di hutan produksi yang kewenangannya di bawah KLHK,” ujarnya.

Adapun pengelolaan gambut yang dapat direkomendasikan yakni pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan, tidak menghilangkan atau berdampak pada subsiden namun tetap dapat dikelola atau dibudidayakan, seperti tidak menambah kanal-kanal yang menyebabkan subsiden, menjaga tinggi muka air tanah gambut, mengelola lahan tanpa bakar, mengendalikan karhutla dan tetap mempertahankan kelestarian gambut.

"Di negara lain, lahan gambut adalah lahan berharga ketika dikelola dengan baik, sepanjang pengelolaannya baik dan berkelanjutan. Anggapan bahwa lahan gambut hanya menimbulkan masalah seperti karhutla dan sejenisnya perlu kita luruskan kembali sekaligus kita perlu mengarusutamakan pengelolaan lahan gambut yang lestari,” ujarnya.

Kata Evy, pada dasarnya lahan gambut dapat dikelola dengan tetap memperhatikan kelestarian dan kelanjutannya. Pembagian zonasi pengelolaan gambut atau fungsi ekosistem merupakan langkah yang tepat.

“Gambut terbagi menjadi dua fungsi yaitu budidaya dan lindung. Terhadap pengelolaan gambut budidaya ini yang perlu kita ubah yaitu pola lama masyarakat yang masih melakukan pembakaran, kanalisasi dan lain-lain,” ungkapnya.

KPH Kubu Raya sendiri memiliki program kerja untuk perlindungan gambut, antara lain dengan pengadaan cuka kayu untuk pengelolaan lahan tanpa bakar, dan pengadaan alat-alat ekonomi produktif untuk dihibahkan atau dikerjasamakan dengan masyarakat. Ada pula pembangunan agroforestry dengan jenis tanaman kopi liberika dan jenis tanaman semusim yang cocok di tanam di areal gambut seperti serai, dan jahe di Desa Muara Baru.

KPH Kubu Raya juga melakukan rehabilitasi di luar dan di dalam kawasan dengan bibit yang berasal dari persemaian. Jenis-jenisnya disesuaikan dengan kondisi wilayah yang tersebar di sejumlah titik seperti di Desa Teluk Bakung, Kalibandung dan beberapa lokasi lainnya.

Evy menerangkan, lahan gambut memiliki kemampuan untuk menyimpan air dalam jumlah besar sekaligus melindungi dari banjir. “Area ini juga mampu menjaga ketersediaan pasokan air bersih sehingga sangat penting untuk dipertahankan,” ucap Evy. Gambut juga sebenarnya merupakan gudang karbon paling besar yang terbentuk selama ribuan tahun.

“Kerusakan lahan gambut berisiko terhadap lepasnya gas karbon dioksida ke atmosfer dan menimbulkan efek rumah kaca. Hal ini berkontribusi besar dalam terjadinya pemanasan global yang kini kian memburuk,” ungkapnya.

Evy menambahkan, pengeringan dan kebakaran hutan kini tengah menjadi ancaman besar bagi lahan gambut di Indonesia. Biasanya, kata dia, dua hal Ini disertai pula dengan konversi hutan sehingga ekosistem hutan gambut semakin berkurang.

“Pengeringan akan membuat air permukaan tanah semakin turun. Lapisan gambut yang kering kemudian akan mengalami pembusukan dan di saat yang sama melepaskan lapisan karbon secara perlahan tetapi terus-menerus,” jelasnya.

Di sisi lain, kata Evi, kebakaran juga mempercepat lepasnya karbon ke udara sehingga lambat laun gambut akan semakin kempes dan turun, serta kehilangan produktivitasnya. Hal tersebutlah yang menjadi alasan mengapa hutan gambut harus dilindungi dan diawasi.

Kepala Bappeda Kubu Raya, Amini Maros, mengatakan luasnya lahan gambut di Kubu Raya menjadi perhatian besar pemerintah daerah. Salah satu upaya yang dilakukan pihaknya adalah mencegah terjadinya kerusakan lahan gambut. Caranya dengan terus mengedukasi dan merangkul masyarakat agar tidak lagi membuka lahan dengan cara membakar.

Agar upaya ini berjalan maksimal, strategi utama yang dilakukan yakni melalui kepung bakul (gotong-royong) dengan melibatkan para pihak, seperti NGO, pemerintah provinsi hingga pemerintah pusat dan pihak terkait lainnya.

“Alhamdulillah, kepung bakul yang kami lakukan ini berjalan baik, dan asik karena semuanya sama-sama bergerak mengupayakan agar pelestarian gambut terealisasi optimal,” kata Amini Maros.

Mengingat gambut merupakan tanah organik yang karakteristiknya berbeda dengan tanah biasa, kata Amini, dalam bercocok tanam di lahan gambut, sebaiknya jenis tanaman harus dipilih menyesuaikan dengan karakteristik lahan gambutnya.

“Misalnya kalau di lahan gambut tanam padi tidak cocok, tidak bisa kita paksakan, Baiknya kita bisa cari tanaman lain misalnya ditanami jahe, jagung dan sejenisnya sehingga hasil panennya juga baik dan lahannya juga tetap terjaga,” jelasnya.

Sejauh ini, kata Amini, dari hasil penelitian yang dilakukan sejumlah pihak, banyak masukan dan saran untuk pengelolaan dan pelestarian lahan gambut di Kubu Raya.

“Belum lama ini saya juga sudah berkoordinasi dengan Dinas Ketahanan Pangan Pertanian. Mungkin nantinya untuk di lahan gambut ini, jika memang tidak bisa kembangkan tanaman pangan maka kita akan pindah ke tanaman hortikultra, seperti talas, singkong, alpukat mentega dan sejenisnya,” jelas dia.

Dalam upaya pelestarian gambut, pada Februari 2021 lalu Bappeda Kubu Raya telah merangkul sejumlah pihak seperti Badan Restorasi Gambut dan Mangrove, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Pertanian, NGO dan sejumlah pihak lainnya

Amini Maros pun mengaku sangat terbantu dengan cukup banyaknya NGO yang masuk di Kubu Raya. Hanya saja, dia berharap saat akan masuk di Kubu Raya, sebaiknya setiap NGO melakukan pemetaan terlebih dahulu.

“Misalnya, ada NGO A, dia masuk untuk meningkatkan hasil produksi dari sebuah komoditas di satu desa, harapannya kalau ada lagi NGO lain yang masuk di desa yang sama dia tidak lagi fokus ke produksi. Namun bisa saja fokus untuk membantu pemasaran dari setiap produk komoditas yang dihasilkan sehingga hasilnya berkesinambungan dan memuaskan. Dan kami harap teman-teman NGO bisa selalu bersinergi dengan pemerintah daerah,” ungkapnya.

Adapun, salah satu program yang didorong Bappeda saat ini yaitu program desa peduli gambut. Melalui program ini, setiap desa diharapkan mengetahui secara detail potensi yang ada di desa masing-masing. Setelah itu, dengan dana desa dan alokasi dana desa, setiap desa bisa mengekplorasi dan mengeskploitasi potensi tersebut.

“Kami juga berharap pemanfaatan lahan gambut tetap berlangsung secara berkesinambungan dan ramah lingkungan agar pendapatan masyarakat bisa terus meningkat sekaligus sebagai upaya mitigasi karhutla,” pungkasnya.

Akademisi Universitas Tanjungpura, Dwi Astiani, mengatakan, gambut bisa dikelola dengan baik, asal melalui cara berkelanjutan (sustainable). Gambut pada prinsipnya merupakan tanah organik, sehingga tidak boleh diperlakukan seperti tanah biasa.

“Kalaupun orang mau menanam sebuah komoditas, kan tanaman itu memerlukan akar yang tidak terendam air. Biasanya (gambut) diturunkan dengan membangun kanal. Itu pun harus dipertimbangkan, karena pembangunan kanal itu akan berpengaruh terhadap dekomposisi gambut,” jelasnya.

Dekomposisi itu artinya gambut akan terurai kemudian kering dan lama-lama hilang. “Kalau hilang artinya tidak sustainable kan. Kita menggunakan (gambut) ok, tapi tidak boleh merusaknya. Kalau gambutnya hilang, artinya kita merusaknya,” imbuhnya.

Sepuluh tahun sebelumnya, masih banyak orang belum tahu, gambut yang terurai akan melepaskan gas karbon dioksida ke atmosfir atau emisi metan. Emisi ini dapat menyebabkan lingkungan terganggu.

Dwi Astiani juga melihat kearifan lokal masyarakat dalam pengelolaan gambut saat ini belum terlalu arif, karena masih ada yang membuka lahan dengan cara membakar. Dwi mengungkapkan, riset tentang cara pembukaan lahan tanpa bakar sudah banyak dilakukan. Namun, penelitian yang dilakukannya agak berbeda karena fokus pada pengurangan emisi dengan mengatur tata air.

“Ada lahan gambut di Kuala Dua, dia dulu tanam jahe merah di gambut bagus tumbuhnya karena jahe perlu air. Kemudian ada program pemerintah buka kanal dengan kedalaman empat hingga lima meter, terus membuat air turun banyak dan kering gambutnya. Selain terbakar, tanaman jahenya juga tidak ada yang bisa hidup. Dan itu kan pada akhirnya juga merugikan masyarakat,” paparnya.

Untuk mengatasi masalah ini, Dwi mencoba dengan membuat dam-dam sederhana. Dam-dam ini membantu membasahi lahan yang semula kering sekaligus mengurangi risiko kebakaran. Saat metode ini diujicoba, ternyata hasilnya bagus dan banyak tanaman yang bisa beradaptasi.

"Kuncinya di lahan gambut itu, jangan lahannya yang mengikuti karakteristik tanaman. Sebaliknya, tanamanlah yang harus dipilih menyesuaikan atau mengikuti kondisi dan karakteristik lahan gambutnya, jadi dia tidak terlalu berubah,” ungkapnya.

Tugas kita saat ini lanjutnya, adalah memilih komiditas ekonomi tinggi tapi tidak merusak lingkungan atau lahan gambutnya. “Gambut itu hidrologinya yang penting. Jadi kalau dia dirusak hidrologinya, maka akan berpengaruh ke seluruhnya,” tutup Dwi.

>SUMBER<